KHAZANAH TAFSIR SUFIKhazanah penafsiran dalam dunia Islam adalah wilayah kajian yang amat kaya. Jika kita hendak menjelajahi kekayaan khazanah tersebut maka akan ditemukan ragam corak penafsiran yang memiliki kekhasan masing-masing. Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa pada dasarnya al-Quran itu diam, dan manusialah yang menghidupkannya.
Cara pandang dalam beragama sangat mempengaruhi pola penafsiran yang digunakan oleh seorang penafsir. Ahli fikih, teolog, filsuf, ahli sastra, demikian pula kalangan sufi, memiliki kecenderungan menafsirkan al-Quran berdasarkan perspektif keilmuan masing-masing. Dalam hal ini, Dr. Darraz mengungkapkan bahwa al-Quran itu bagaikan batu permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Setiap cahaya yang dipantulkan itu tidak sama kesannya pada masing-masing sisi, tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya (Baidan, 2001).
Kaum sufi, sama halnya dengan para pengkaji Islam lainnya, memiliki cara pandang yang khas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Dalam khazanah penafsiran perspektif sufistik, akan ditemukan sejumlah penjelajahan, pengembaraan, serta pergulatan kejiwaan yang amat dalam. Sebagaimana ciri dunia sufi yang banyak bersinggungan dengan aspek esoterik-ruhaniah, maka tafsir sufi akan banyak bergulat dengan dimensi esoterik yang tersembunyi di balik makna harfiah ayat. Aktivitas penafsiran kaum sufi pada dasarnya adalah pencarian isyarat-isyarat yang tersimpan di balik teks suci al-Quran. Karena itulah tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyârî.
Secara umum, dapat dipahami bahwa ciri khas tafsir sufi dalam mendekati al-Quran adalah pada sisi penggunaan intuisi atau irfânî. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, intuisi diartikan sebagai daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Atau istilah lainnya yaitu bisikan hati atau gerak hati. Dalam konteks pemikiran kaum sufi, intuisi memiliki makna yang lebih dalam, karena berada dalam ranah spiritual-ketuhanan. Intuisi kaum sufi bukan sekadar bisikan atau gerak hati yang murni bersifat manusiawi, namun di sana terdapat pancaran ilahiyah yang hadir melalui penyingkapan (mukâsyafah).
Jika ditelusuri dari akar sejarahnya, tafsir sufi sebenarnya telah memiliki embrio sejak zaman nabi. Hal itu berkaitan dengan tanggapan Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab terhadap turunnya surat al-Maidah ayat 3, yang berbunyi: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…”
Mendengar turunnya ayat itu, para sahabat gembira, tapi Abu Bakar dan Umar justru sedih dan menangis, seraya Umar berkata, “Tiada lain setelah sempurna, kecuali akan datang kekurangan”, sambil mengingatkan kematian Nabi Muhammad SAW. Dan ternyata benar, hanya berselang 81 hari setelah ayat itu turun, Nabi pun wafat.
Setidaknya, ada tiga hal penting yang menjadi hikmah di balik peristiwa tersebut. Pertama, hal itu membuktikan bahwa tidak semua orang, termasuk para sahabat Nabi SAW memiliki kepekaan intuitif untuk dapat menangkap isyarat yang diberikan Allah. Kedua, tafsir dengan ciri penangkapan isyarat (isyârî) yang saat ini berkembang sudah ada embrionya sejak masa Nabi. Ketiga, peristiwa itu merupakan isyarat bahwa ayat al-Quran mempunyai dua dimensi makna: lahir dan batin.
Pada gilirannya, penekanan pada dua dimensi makna itulah, yakni makna lahir dan makna batin, yang menjadi kata kunci dalam memahami tafsir sufi. Makna lahir, menurut Ibn al-Naqib, ialah makna yang dapat ditangkap para ahli; sementara makna batin yaitu rahasia-rahasia yang diberitahukan Allah kepada para ahli hakikat. Sedangkan menurut Abu Ishaq al-Syatibi, makna lahir yaitu pemahaman melalui kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, balaghah, semantik, etimologi, dan lain-lain. Sebaliknya, yang dimaksud dengan makna batin ialah makna yang dimuat Allah di dalam sebuah ayat secara tersirat (implisit).
Ciri paling mendasar dari tafsir sufi adalah penekannya pada aspek esoteris. Bagi kaum sufi, penafsiran yang hanya berhenti pada kalimat-kalimat dan huruf-huruf sebagai sumber isyarat dan simbol, tidaklah mencukupi dan memuaskan keinginan kuat mereka untuk menguak berbagai rahasia dan teka-teki di balik firman Tuhan. Karena itulah, menurut mereka, penafsiran yang hakiki ialah penafsiran yang tidak berhenti pada redaksional teks belaka.
Bagi al-Ghazali, dalam memahami al-Quran terdapat ruang yang amat lapang dan mendalam, karena itulah menurutnya, penafsiran yang dinukil dari lahiriah tafsir bukanlah tujuan final dari interpretasi terhadap al-Quran. Dari sini dapat dimengerti, bahwa bagi al-Ghazali, dengan manjadikan makna lahiriah sebagai satu-satunya jalur penafsiran, maka pada saat yang sama telah terjadi penyempitan makna al-Quran yang sesungguhnya sangat luas.
Abu Yazid al-Bustami, ketika berkomentar tentang tafsir sufi vis a vis tafsir tekstual, menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan tafsir hanya berdasar pada makna literal teks, berarti ia telah mengambil ilmu dalam keadaan mati dari sesuatu yang juga telah mati. Sebaliknya, dengan melakukan penangkapan dimensi isyârî dalam al-Quran, berarti seseorang telah melakukan penafsiran yang hidup dan mengambil ilmu dari Dzat yang Hidup dan Azali.
Nasruddin Khasru menganalogikan penafsiran teks secara literal sebagai badan akidah, sementara penafsiran yang lebih mendalam sebagai penangkapan dimensi ruh. Lantas, kata Nasruddin, badan manakah yang bisa hidup tanpa ada ruh? Namun, dengan memandang pentingnya penangkapan dimensi esoteris, bukan berarti bahwa makna literal ayat lantas tidak dihiraukan. Pada sejumlah kitab induk tafsir sufi terlihat bahwa para tokoh tetap menjaga agar arti literal teks tidak tercerabut, sementara makna isyârî di balik teks tetap dapat ditemukan.
Di antara kitab tafsir yang menggunakan pendekatan sufistik yaitu Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm karya al-Tustari, Haqâ’iq al-Tafsîr karya al-Sulami, ‘Arâ’is al-Bayân fi Haqqah al-Qur’ân karya al-Syirazi, Al-Ta’wîlât al-Najmiyyah karya Najm al-Din Dayah dan Samnani, Al-Futûhât al-Makkiyah karya Ibnu Arabi, dan Taj al-Tafasîr karya Muhammad Usman al-Mirghani.
Sekalipun masing-masing tokoh di atas memang benar-benar berupaya mencari makna hakiki (ultimate meaning) di balik teks al-Quran, namun tidak jarang penafsiran mereka dianggap oleh sejumlah kalangan terlampau berlebihan dan menyimpang dari makna seharusnya. Karena itulah, al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirîn membuat kriteria tafsir sufi yang menurutnya merupakan rambu-rambu agar penafsiran yang dilakukan tidak melampaui batas.
Kriteria yang diberikan al-Dzahabi yaitu, pertama, tidak menyimpang atau bertentangan dengan makna lahir ayat-ayat al-Quran. Kedua, didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syariat. Ketiga, tidak bertentangan dengan syariat atau akal sehat. Keempat, tidak mengklaim bahwa tafsir sufi yang dihasilkan sebagai satu-satunya yang dimaksudkan Allah dalam ayat itu; malah sebaliknya; penafsirannya pertama-tama harus dengan pengakuan akan adanya makna lahir ayat, baru kemudian menjelaskan makna batinnya.
Sekalipun keriteria di atas sering menjadi pedoman dalam memahami tafsir sufi, namun tidak semua pengkaji sufi sependapat dengan kriteria tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tafsir sufi juga memiliki banyak corak kekhasan sesuai dengan paradigma berpikir masing-masing tokohnya. Namun, hal paling mendasar saat ini adalah bagaimana kita memaknai kekayaan tafsir isyârî tersebut sebagai upaya mulia para sufi untuk mendekati makna hakiki di balik ayat-ayat al-Quran yang sarat dengan hikmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia.
0 comments:
Post a Comment